Dibuka Pendaftaran !

Yuk, menjadi bagian dari komunitas aksi beramal. Dapatkan beragam manfaat dan benefit lainnya dengan bergabung dengan kami. GRATIS!

Guru Besar di Perguruan Tinggi, Kualitas atau Kuantitas ?

Akhir-akhir ini, keberadaan Guru Besar atau Profesor di Perguruan Tinggi banyak mendapatkan sorotan publik. Pasalnya, bukan karena prestasi yang dilahirkan, akan tetapi lebih kepada tindakan konyol yang mencoreng muka dan institusi tempat mereka mengabdikan diri. Sehingga, bukannya keberadaannya mampu memberikan keberkahan, akan tetapi malah menjadi benalu moralitas di tengah carut-marut pendidikan tinggi di Indonesia.

D39808b8ac4b5f68fd9f43e95a66533f

Beberapa tindakan konyol yang tanpa rasa malu mereka lakukan, seperti menggunakan karya ilmiah yang diskontinyu, perjokian karya ilmiah, plagiat karya ilmiah, hingga kong-kalikong pengurusan Guru Besar dengan pegawai di Kemendikbudristek yang akhir-akhir ini mencuat di publik, dan mungkin masih banyak hal lainnya. Semua hal tersebut ialah tindakan sangat memalukan bagi seorang Guru Besar yang harusnya menjunjung tinggi moralitas.

Tentu, apa yang penulis sampaikan, tidak hendak men-generalisir seluruh Guru Besar, akan tetapi hanya segelintirnya—kita sebut saja sebagai “Oknum Guru Besar”. Karena, masih banyak Guru Besar di Perguruan Tinggi dengan dedikasi tinggi dan tetap bertumpu terhadap moralitas untuk memajukan bangsa melalui jalur pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Perguruan Tinggi Harus Bertanggung Jawab

Perguruan Tinggi harus bertanggung jawab atas tindakan memalukan segelintir oknum Guru Besar yang telah merobohkan marwah kampus sebagai salah satu kawah candradimuka moralitas. Bahkan, Perguruan Tinggi tempat Guru Besar bersangkutan mengabdikan diri, harus memberikan sanksi tegas. Hal tersebut sebagai upaya untuk tetap menegakkan kewibawaan Perguruan Tinggi sebagai garda terdepan menjaga moralitas Bangsa Indonesia. 

Misalnya, dengan mengajukan pencabutan terhadap SK Guru Besar ke Kemendikbudristek, menghentikan secara tidak terhormat dari Perguruan Tinggi bersangkutan, ataupun sanksi lainnya yang dianggap mampu menghentikan praktik tak terhormat tersebut. Sehingga tidak ada lagi pihak lainnya yang mencoba melakukan manipulasi di kemudian hari—baik dalam rangka proses pengajuan Guru Besar, pasca mendapatkan SK Guru Besar, ataupun hal lainnya.

Selain memberikan sanksi tegas, bentuk tanggung jawab Perguruan Tinggi ialah menjalankan sebaik mungkin mekanisme pengajuan Guru Besar. Penulis sangat yakin bahwa setiap Perguruan Tinggi telah memiliki mekanisme tersebut. Walaupun demikian, terkadang hanya tertulis dalam bentuk tinta hitam di atas kertas. Sehingga proses mengakali dan kong-kalikong, terkadang Perguruan Tinggi juga terlibat di dalamnya.  

Maka dari itu, proses memastikan jalannya mekanisme pengajuan Guru Besar di Perguruan Tinggi menjadi langkah awal mencegah praktik akal-mengakali pengajuan Guru Besar. Misalnya, Perguruan Tinggi membuatkan mekanisme pengajuan Guru Besar mulai dari pengajuan di tingkat fakultas. Kemudian, setelah dipastikan bahwa syarat pengajuan telah lengkap dan lolos verifikasi di tingkat fakultas, barulah diajukan ke tingkat universitas.

Di tingkat universitas, tim harus melakukan penlilaian seketat mungkin. Bahkan verifikasi dan penilaian bukan hanya menyangkut kelengkapan berkas administrasi persyaratan, akan tetapi juga memastikan terkait kualitas dari syarat-syarat yang diajukan. Sehingga, seluruh berkas—baik sebagai syarat utama ataupun pendukung, telah melalui proses ketat untuk dapat diajukan. Hal tersebut sebagai upaya Perguruan Tinggi memberikan garansi bahwa calon Guru Besar yang diajukan memang benar-benar seorang dosen yang memiliki kualifikasi mumpuni—mulai dari sisi keilmuan, karya yang dihasilkan, kiprah di masyarakat, hingga perilaku moral dalam kehidupan sehari-hari.

Keberadaan garansi seperti itu dari Perguruan Tinggi, pada akhirnya akan menjadi salah satu ikhtiar untuk mencetak Guru Besar bukan hanya sekadar Guru Besar yang memiliki SK dari Kemendikbudristek. Akan tetapi, dari sisi pemikiran, perilaku keseharian, ilmu pengetahuan, dan tentu moralitas, benar-benar mencerminkan akhlak seorang Guru Besar. Guru Besar seperti itulah yang sedang dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia ke depannya, untuk memberikan sumbangsaih signifikan terhadap penyelesaian permasalahan bangsa sesuai otoritas keilmuan dari masing-masing Guru Besar.

Banyak Guru Besar, untuk Apa?

Pertanyaan selanjutnya, untuk apa Perguruan Tinggi berlomba-lomba memperbanyak Guru Besar? Bagi kalangan masyarakat yang tak memahami administrasi di Perguruan Tinggi, pastinya akan muncul pertanyaan seperti itu. Tetapi sebaliknya, bagi masyarakat yang setiap hari berkutat di Perguruan Tinggi—terkhusus Perguruan Tinggi Swasta, keberadaan Guru Besar memberikan sumbangsih signifikan terhadap akreditasi—baik Akreditasi Perguruan Tinggi (APT) ataupun Akreditasi Program Studi (APS).

Jadi, semakin meningkat nilai akreditasi suatu Program Studi ataupun Perguruan Tinggi, akan semakin meningkat pula gengsi dan branding Program Studi ataupun Perguruan Tinggi di masyarakat. Hal tersebut menjadi salah satu nilai untuk dapat menjaring mahasiswa sebanyak-banyaknya bagi Perguruan Tinggi—terkhusus bagi Perguruan Tinggi Swasta. Karena jumlah mahasiswa bagi Perguruan Tinggi Swasta menjadi tumpuan utama pendapatan kampus.   

Dengan demikian, tak mengherankan bagi Perguruan Tinggi berlomba-lomba menggerakkan dosen dengan tingkat kecukupan syarat untuk mengajukan kepangkatan ke jenjang Guru Besar. Karena, semakin banyak Guru Besar yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi, akan semakin tinggi penilaian kala akreditasi. Hal tersebut akan sangat wajar, bila dilakukan menggunakan mekanisme dan prosedur yang telah ditentukan.

Sebaliknya, menjadi tidak wajar bila dilakukan dengan menghalalkan segala macam cara, hanya demi untuk meloloskan Guru Besar yang diajukan. Mungkin saja, jumlah Guru Besar yang dimiliki Perguruan Tinggi akan meningkat. Tetapi, di balik meningkatnya jumlah Guru Besar akan berbanding terbalik dengan adanya penurunan moralitas insan akademik di Perguruan Tinggi bersangkutan. Karena, seluruh pihak di Perguruan Tinggi tersebut terlibat kong-kalikong meloloskan pengajuan Guru Besar, padahal yang bersangkutan tak memenuhi syarat kualifikasi.

Lantas, untuk apa jumlah Guru Besar meningkat di suatu Perguruan Tinggi, bila diperoleh melalui cara-cara culas. Sehingga yang terjadi ialah, Perguruan Tinggi akan nampak mentereng secara pandangan lahiriah, akan tetapi remuk-redam dan porak-poranda secara batiniah. Maka dari itu, pengajuan Guru Besar oleh Perguruan Tinggi melalui proses kong-kalikong harus dihentikan. Perguruan Tinggi harus menjadi agen utama yang harus menghentikan praktik tersebut.

Kualitas dan Kuantitas Guru Besar

Kedepannya, Perguruan Tinggi harus mengedepankan kualitas Guru Besar, bukan hanya semata-mata pada kuantitas. Maksud dari kualitas ialah bagaimana Perguruan Tinggi benar-benar mampu menyiapkan calon Guru Besar melalui mekanisme yang telah ditetapkan oleh otoritas terkait—mulai dari bidang pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Setelah SK Guru Besar pihak bersangkutan diperoleh, Perguruan Tinggi harus mampu menstimulus Guru Besar bersangkutan untuk terus aktif melakukan bidang pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Tentu saja, bukan berarti Perguruan Tinggi dilarang melakukan peningkatan kuantitas keberadaan Guru Besar secara signifikan. Akan tetapi, bagaimana caranya proses penyiapan dan pengajuan harus dijalankan secara ketat. Sehingga Guru Besar yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi merupakan seseorang yang memang memiliki kemampuan mumpuni di bidang ilmu pengetahuan yang ditekuni serta memiliki kapasitas moril di atas rata-rata.

Dengan memperhatikan hal tersebut, tentu Perguruan Tinggi bukan hanya akan mendapatkan Guru Besar yang berkualitas, akan tetapi juga akan mendapatkan adanya peningkatan kuantitas jumlah Guru Besar. Sehingga keberadaan Guru Besar akan memberikan kontribusi bukan hanya pada saat ada akreditasi, tetapi memang benar-benar menjadi seorang Begawan ilmu pengetahuan dengan menjunjung tinggi moralitas.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *